Liputan6.com, Jakarta Penjualan produk lokal yang dilakukan lewat lapak digital, baik e-commerce maupun social commerce disinyalir relatif terbatas. Barang yang dijajakan di lapak online lebih banyak disokong oleh produk asing. Salah satu indikasinya impor barang konsumsi terus mengalami peningkatan sejak 2015 hingga kini.
Berdasarkan data Institute for Development of Economic and Finance (INDEF), sebanyak 74 persen produk yang dijual di lapak online tidak diproduksi sendiri. Hal ini turut mendorong impor barang konsumsi terus mengalami peningkatan setelah e-commerce boom pada 2015-2016 dan di saat pandemi. Bahkan, dalam dua tahun lalu, peningkatan impor barang konsumsi mencapai sekitar 20 persen dibandingkan pada 2020.
Baca Juga
INDEF juga melaporkan jika produk lokal terus mengalami ancaman dari produk impor, khususnya produk asal Cina. Produk kecantikan dan perawatan diri asal Cina, misalnya Skintific dan The Originote pada awal 2023 sudah mulai menyalip merek asli Indonesia seperti Scarlett dan Ms Glow. Padahal, di Mei 2022 penjualan kedua merek asal Cina masih sangat jauh dibanding merek lokal.
Advertisement
Peneliti Center of Digital Economy and SMEs INDEF Izzudin Al Farras, mengungkapkan hal itu bisa terjadi karena beberapa faktor, di antaranya karena produk asal Cina tersebut selalu ada dibagian flash sale di TikTok yang mudah dilihat oleh pengguna. Tak hanya itu, iklan produk kecantikan dan perawatan diri asal Cina ini juga selalu muncul atau For Your Page (FYP) meski pengguna tidak mencari produk tersebut.
3 Hal yang Perlu Diatur
Menanggapi hal itu, Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki mengatakan, ada tiga hal yang perlu diatur oleh pemerintah agar produk lokal, khususnya produk UMKM bisa juara di pasar digital Indonesia. Pertama, melarang penjualan ritel online lewat cross border commerce.
"Ritel dari luar negeri tidak boleh lagi menjual produknya langsung ke konsumen. Mereka harus masuk lewat mekanisme impor biasa terlebih dahulu, setelah itu baru boleh menjual barangnya di pasar digital Indonesia. Kalau mereka langsung menjual produknya ke konsumen, UMKM Indonesia pasti tidak bisa bersaing karena UMKM kita harus mengurus izin edar, SNI, sertifikasi halal dan lain sebagainya," kata Teten, di Jakarta, Jumat (28/7/2023).
Â
Kedua dan Ketiga
Kedua, melarang platform digital untuk menjual produk sendiri atau produk yang berasal dari afiliasinya. Dengan begitu, pemilik platform digital tidak akan mempermainkan algoritma yang dimilikinya.
"Kalau mereka jualan produk sendiri atau produk dari afiliasi bisnisnya, algoritmanya akan diarahkan ke barang-barang mereka sehingga konsumen di pasar digital hanya akan membeli dagangan mereka saja. Percuma saja walau UMKM sudah onboarding," ujar Teten.
Ketiga, larangan impor untuk produk yang sudah bisa diproduksi di dalam negeri. Hal ini sejalan dengan arahan Presiden Joko Widodo agar tidak lagi mengimpor barang-barang yang sudah bisa diproduksi di dalam negeri.
Selain itu, Pemerintah juga perlu mengatur tentang harga barang yang bisa diimpor ke Indonesia. Menurut dia, hanya barang yang harganya berada di atas USD 100 yang nantinya diperkenankan masuk ke Indonesia.
Ketiga aturan ini, kata Teten sejatinya sudah dibahas dengan Kementerian Perdagangan. Hanya saja, hingga saat ini aturan tersebut belum juga terbit.
"Aturan ini sudah dibahas dengan Kemendag, sejak zaman Pak Luthfi. Seharusnya sekarang sudah harmonisasi aturan, bahkan harusnya sudaha terbit," katanya.
Â
Advertisement
Perlu Segera Diperbaiki
Untuk mengantisipasi belum terbitnya Revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50/2020 tentang Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Elektronik (PSME), dalam Rapat Kabinet di Istana, kata Teten dibahas secara khusus pembentukan Satgas Digital Ekonomi.
Teten mengatakan, aturan ekonomi digital Indonesia perlu segera diperbaiki karena ekonomi digital berkembang begitu cepat. Pemerintah pun perlu merespon perkembangan ini dengan secepatnya agar pasar digital Indonesia tidak dikuasai oleh negara asing.
"Kita perlu belajar dari India, Inggris, dan negara-negara lainnya. Kalau kita terlambat membuat regulasi maka pasar digital Indonesia akan dikuasai produk dari luar, terutama dari China yang bisa memproduksi barang dengan begitu murah, yang harganya tidak masuk akal," pungkas Teten.